PRINCES INSURANCE WORLDWIDE

Informasi Terpanas Tentang Manfaat Asuransi Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES CELEBRITY WORLDWIDE

Informasi Terpanas Tentang Kehidupan Artis Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES HISTORY TOUR AND TRAVEL

Informasi Terpanas Tentang Perjalanan Wisata Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES LOVE GOD

Informasi Terpanas Tentang Kehidupan Rohani Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES ADVERTISING

Kesempatan Buat Anda yang ingin Memajukan Bisnis dengan Pasang Iklan Secara Gratis dan Dibaca diseluruh Dunia *** Read More ***

Translate this page to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified


Belajar jualan Emas dan Uang

Sunday, January 31, 2016

Sakit Hati Mahasiswa Yang Disekolahkan Sukarno lalu Dicabut Identitasnya Oleh Suharto

Kisah para eksil 1965: Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji’

Princes.in - Ratusan warga Indonesia terpaksa hidup “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Tidak ada angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali. Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi ataupun sebagai diplomat, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam.

Asvi mengatakan banyak di antara warga Indonesia ini yang “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut karena “dibayangi ketakutan bahwa mereka akan dipulangkan dan di Indonesia akan ditangkap.”

Sejarawan Bonnie Triyana menyebut mereka sebagai “eksil-eksil yang dibui tanpa jeruji karena sama seperti korban di Indonesia, tak bisa melakukan sesuatu sebebas manusia lainnya.”
“Berdasarkan riset saya yang terjadi pada 1965-1966 dan juga 1969, urusan ideologi tak lagi relevan, siapapun yang dianggap bahaya bagi kemunculan Orde Baru dihabisin, apakah dia nasionalis, komunis ataupun kalangan agama,” kata Bonnie, Pemimpin Redaksi Majalah Historia.
Inilah pengalaman sejumlah di antara mereka – yang berusia 70an dan 80an dan saat ini tinggal di Belanda.

Ibrahim Isa, ‘Sakitnya dicabut identitas
Peristiwa 65

“Yang pertama itu adalah penderitaan dari segi harga diri. Ketika paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, seolah nyawa saya sendiri yang dicabut. Sakit sekali.”
“Sejak umur 15 tahun saya terlibat dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara Rakyat. Saya ikut berjuang (melawan penjajahan Belanda). Hidup saya untuk Indonesia. Saya juga pernah jadi guru untuk mendidik, tetapi mengapa sampai begini?”
“Namun kami tak boleh tinggal pada penderitaan. Saya dan banyak teman saya tak ada perasaan balas dendam. Kami sepenuhnya realis. Yang penting bersama-sama menghadapi. Sejak jatuhnya Suharto, ada kemajuan (dari sisi penegakan hak asasi manusia). Saya punya keyakinan, kemajuan akan terus terjadi.”
Ibrahim Isa bertugas mewakili Indonesia pada akhir 1960 dalam Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama perwakilan dari delapan negara lain.

Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30 September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing pada 17 Oktober 1965.
Paspornya dicabut setelah mengikuti Konferensi Trikontinental Asia Afika dan Amerika Latin pada 1966.

“Dari Indonesia tak ada yang datang, karena ada perubahan besar dan kami diminta datang (oleh Organisasi Konperensi Kesetiawakanan Asia Afrika) bersama beberapa teman Tiba-tiba ada orang Indonesia yang datang dan saya katakan kepada panitia bahwa yang datang adalah militer.”
“Ini membuat Jakarta marah, Ibrahim Isa disebut Gestapu dan pengkhianat bangsa.”
Dari Kuba, Isa mendapatkan tawaran untuk bekerja di lembaga riset Asia Afrika di Beijing, Cina dan tinggal di sana selama 20 tahun sampai 1986 sebelum akhirnya menetap di Belanda.

Chalik Hamid, ‘Kuburan kami ada di mana-mana’
Peristiwa 65

Chalik berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi Peristiwa 30 September 1965.

“Kami tak tahu peristiwa itu. Di Albania sedikit sekali informasi dari luar baik dari radio dan koran sangat terbatas.” kata Chalik yang pernah menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri di Medan.
“Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang…Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana.”

“Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun.”
“Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor.”
“(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya. Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi.”

“Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana.”
“Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, berbagai benua. Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia, paspor kami dirampas sang penguasa, tak boleh pulang ke halaman tercinta. Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan,” Chalik menyampaikan salah satu puisi yang ia tulis.
Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.

Sungkono: Dari Moskow, menjajaki ‘pulang’ lewat Cina, Vietnam dan Thailand
Peristiwa 65

“Pada September 1965 saya berada di Moskow sedang belajar teknik mesin dan dikirim oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan sejak tahun 1962.”
“Pada 1966, kedutaan Indonesia di Moskow mengumpulkan mahasiswa Indonesia untuk di-screening dengan berbagai pertanyaan antara lain bagaimana sikap kami terhadap Peristiwa 1965. Saya jawab saya tidak tahu menahu karena saya di luar negeri.”

“Pada Juni 1966, mulai ada jawaban terhadap mahasiswa yang discreening. Yang dicabut paspornya secara kolektif, dibilang disangsikan kesetiaannya terhadap pemerintah Indonesia.”
“(Walau paspor dicabut), Saya tetap belajar sampai tamat. Pemerintah Uni Soviet saat itu memberi kesempatan sampai selesai tahun 1967, dan sempat ditawarkan untuk bekerja dan tinggal di sana.”
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Kami berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok…Saya kemudian pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.”
“Akhirnya tahun 1981 meninggalkan Tiongkok ke Belanda (sampai sekarang), dan pada 1987, kami mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan kami yang berada di luar negeri, khususnya di Belanda.”

Sarmadji, “mengubah kesedihan menjadi kekuatan”
Peristiwa 65

“Saat terjadi Peristiwa 1965, saya tengah sekolah di Tiongkok dan saya tidak tahu menahu apa yang terjadi.”
Sarmadji mengumpulkan sekitar 3.000 buku, sebagian besar tentang apa yang terjadi pada 1965 dan 1966 dan membuka perpustakaan di rumahnya yang dibuka untuk umum.

“Perpustakaan ini adalah monumen peringatan bagi mereka yang dicabut paspornya secara paksa dan meninggal di luar negeri. Jumlahnya yang sudah meninggal sekitar 130 orang dari Tiongkok sampai Eropa Barat.”
“Saya mengumpulkan (buku-buku) ini untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan. Berangsur-angsur kekuatan saya bertambah dan kesedihan saya berkurang,” kata Sarmadji.

Pengakuan apa yang terjadi
Peristiwa 65

Baik Isa, Sungkono, Chalik dan Sarmadji berharap salah satu hal yang akan dilakukan pemerintah adalah pengakuan atas apa yang terjadi pada 1965 dan 1966.
“Yang pertama akui apa yang terjadi, seperti yang sudah diakui oleh Komnas, dan yang penting juga adalah rehabilitasi nama baik dan hak hak politik dari warga negara yang direnggut hak-haknya,” kata Isa.

Pada 2012 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat pada 1965-1966. “Sebagai utang sejarah masa lalu negeri ini, penyelesaian (pelanggaran HAM berat) dapat ditempuh melalui mekanisme rekonsiliasi,” kata Profesor Hafid Abbas, anggota Komnas HAM Namun sampai dengan Detik Ini Tahun 2016 Belum Juga Tuntas masalah ini.

“Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Sayang sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlambat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden,” kata Hafid kepada BBC Indonesia.

Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
“Misalnya untuk para eksil adalah soal pencabutan paspor, yang perlu dijadikan satu kasus, dan kemudian kasus lain seperti diskriminasi anak korban yang tak boleh jadi pegawai negeri dan tentara pada 1981 dan sebagainya,” kata Asvi.

Thursday, January 14, 2016

Pintu Masuk Gedung DPR Ditutup, 2 Pelaku Bom di Sarinah Lari Ke Palmerah

Sementara itu dua pelaku teror lari ke kawasan Palmerah dan menyebar Isu meledakan kawasan Palmerah Jakarta...

Paska ledakan bom bunuh diri di Sarinah pengamanan di gedung DPR RI diperketat. Terutama pintu masuk dari arah Palmerah tepat di samping Pospol Subsektor Palmerah. Nampak petugas kepolisian berkumpul di depan Pospol sambil terus melakukan pemantauan dengan menggunakan HT.

palmerah di teror
Pintu selebar sekitar 1 meter yang menuju kompleks DPR dikunci. Pintu-pintu lain, sementara ini juga diminta untuk ditutup. Petugas Pamdal DPR bernama Didi mengatakan tidak mengetahui adanya kabar bom di lokasi ini.

"Tidak ada. Tidak ada," katanya di lokasi, Kamis 14 Januari 2016.

Didi menjelaskan hanya diperintahkan atasannya untuk menutup pintu masuk ke komplek DPR.

"Saya dapat perintah dari Kabag Pam DPR RI. Ini ditutup ditutup antisipasi. Biar pemeriksaan gampang," ujar Didi.

Dari informasi yang beredar pelaku peledakan dan baku tembak di kawasan Sarinah diduga lari ke kawasan Palmereh melalui jalur belakang DPR RI.

Kapolres Pastikan Tak Ada Ledakan di Palmerah

Polisi melakukan penyekatan ruang gerak pelaku di kawasan itu. Ledakan bom dikabarkan terjadi di sejumlah titik di Jakarta setelah terjadi ledakan bom di kawasan Sarinah. Ledakan dikabarkan terjadi di kawasan Palmerah, Kuningan dan Cikini.

Dari temuan di kawasan Palmerah, Kapolres Jakarta Barat, Rudi Heryanto, menegaskan, tidak ada terjadi ledakan di kawasanitu. Petugasnya dikerahkan di kawasan ini karena ada informasi pelaku berlari ke kawasan ini.

"Informasinya melarikan diri ke arah sini, maka kita cek kebenarannya. Tidak ada ledakan di Pospol Palmerah," katanya.

Menurutnya, sudah dilakukan penyekatan di kawasan Jakarta Barat untuk menutup ruang gerak pelaku teroris.

Darah Berceceran di Pos Polisi Sarinah Oleh Teroris

Tujuh  Orang dikabarkan tewas dalam ledakan pos polisi Polisi Lalu Lintas di Jalan HM Thamrin, Jakarta Pusat, tepat di depan pusat perbelanjaan Sarinah.

Hal ini berdasarkan foto yang beredar pasca-kejadian, Kamis (14/1/2015).

Ledakan Pos Polisi Sarinah
Dari foto itu, terlihat pos polisi luluh lantak. Sedangkan di luar pos yang, terdapat tiga orang tergeletak dengan darah berceceran.

Dan dedepan Coffe Shop Terdengar 4 sampai 7 kali tembakan beruntu, Terjadi ledakan Antara jam 10.40 Wib dan didalam Pos Polisi ada 1 orang Polisi Yang Tergeletak Tewas, serta diluar Pos Polisi ada 3 orang Tergeletak Yang berceceran darah..

14 Sniper Dikerahkan ke Lokasi Ledakan Sarinah

Para penembak jitu (sniper) dikerahkan pasca-ledakan benda diduga bom di pospol Sarinah Plaza, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Pengerahan sniper ini bertujuan memantau situasi sekitar area ledakan dan baku tembak di lokasi terkait pengamanan. Menurut informasi yang diterima Princes,  terdapat 14 orang sniper yang berjaga di sekitar lokasi.

Hingga saat ini, belum ada informasi detail mengenai pelaku ledakan dan penembakan ke arah polisi pukul 10.40 WIB tadi. Tiga orang dikabarkan terkapar dan sudah dilarikan ke rumah sakit.

Situasi di sekitar Gedung Sarinah, Jakarta Pusat, masih mencekam pasca terjadinya ledakan dan baku tembak antara petugas dengan para pelaku teror.

Pantauan Princes di lapangan, Kamis (14/1/2016), petugas melakukan penutupan jalan mulai dari Lampu Merah Jalan Sabang hingga perempatan di samping Sarinah. Sejumlah personel kepolisian terlihat berjaga di hampir setiap sudut jalanan. Termasuk para sniper dengan senjata laras panjang terlihat siaga memantau setiap pergerakan.

Ramdhani, saksi mata yang berprofesi sebagai satpam, menuturkan, sempat terdengar tujuh kali suara tembakan pesca ledakan di pos polisi Sarinah. Para petugas masih melakukan sterilisasi untuk mengantisipasi adanya serangan susulan. Sementara itu, satu unit ambulans tiba di Sarinah untuk mengevakuasi para korban.

Ledakan di Sarinah bukan Bom Bunuh Diri

Pantauan yang dilakukan oleh Princes, beberapa saksi menjelaskan, bahwa tidak terlihat pelaku melakukan bom bunuh diri.

Saksi Mata Satpam

Ledakan terjadi di pos polisi satuan lalu lintas di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, tepatnya di depan pusat perbelanjaan Sarinah, Kamis (14/1/2015).

Seorang saksi mata menceritakan kronologi kejadian. Saksi mata tersebut adalah Husaini, satpam di salah satu gedung, yang berada di sekitar lokasi kejadian.

Menurutnya, ledakan pertama terjadi sekira pukul 10.30 WIB di Cafe Starbuck Sarinah. Ledakan itu terdengar cukup kuat.

Lima menit berselang, seorang pria menenteng senjata berdiri di tengah jalan lalu menembak ke segala arah.

Tak berselang lama, ledakan kedua terjadi di Pos Polisi Satlantas yang berada tepat di depan Sarinah.

Saksi mata itu mengaku, melihat sejumlah orang tergeletak pasca kejadian, namun dia tidak bisa memastikan jumlahnya.

Sampai dengan Saat Ini masih Adu tembak Antara Polisi Dan Teroris.
Sementara para Pelaku Teroris masih berada di Sekitar Sarina dan Menembaki para Warga dan Polisi, Semua Warga Panik dan berlarian meninggalkan Korban yang tergeletak di tengah tengah Perempatan Sarinah...

Untuk Saat Ini Jumlah Korban Belum bisa dipastikan karena Para Pelaku Teroris masih Berada dikawasan Teroris, untuk saat Ini Korban 3 Polisi dan 4 warga Sipil..