PRINCES INSURANCE WORLDWIDE

Informasi Terpanas Tentang Manfaat Asuransi Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES CELEBRITY WORLDWIDE

Informasi Terpanas Tentang Kehidupan Artis Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES HISTORY TOUR AND TRAVEL

Informasi Terpanas Tentang Perjalanan Wisata Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES LOVE GOD

Informasi Terpanas Tentang Kehidupan Rohani Yang Lagi Menjadi Trending Topik diseluruh Dunia *** Read More ***

PRINCES ADVERTISING

Kesempatan Buat Anda yang ingin Memajukan Bisnis dengan Pasang Iklan Secara Gratis dan Dibaca diseluruh Dunia *** Read More ***

Translate this page to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified


Belajar jualan Emas dan Uang

Showing posts with label Menkumham. Show all posts
Showing posts with label Menkumham. Show all posts

Tuesday, December 27, 2016

Sidang Perkara Ahok dilanjutkan Tahun Depan Setelah Nota Keberatan di Tolak

Nasaret - Majelis hakim menolak eksepsi atau Nota Keberatan terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Basuki T Purnama atau Ahok. Hal itu merupakan keputusan sidang putusan sela yang digelar hari ini, Selasa (27/12/2016) di PN Jakut. Ketua Majelis Hakim Dwiyarso Budi Santiarso mengatakan dalam sidang ini, majelis hakim menolak eksepsi Ahok.

“Mengadili, menolak terdakwa Basuki Tjahaja Purnama dan penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya,” sebutnya.

Hakim juga memerintahkan untuk melanjutkan perkara Ahok serta menangguhkan biaya perkara sampai putusan hakim dibacakan. Sebelumnya, majelis hakim membacakan eksepsi Ahok, namun mereka menganggap segala hal yang dilakukan Ahok untuk membantu umat muslim merupakan kewajiban semua pemimpin terhadap warganya.

Sidang ini dihadiri Ketua Tim Pemenangan Ahok-Djarot, Prasetyo Edi, dan tim kuasa hukum Ahok yang tergabung dalam Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika. Sementara di depan gedung pengadilan, telah bersiaga empat mobil lapis baja yang dijadikan pembatas antara massa yang pro dan kontra Ahok. Seperti sebelumnya, massa sudah berkumpul di depan lokasi sidang.

Tuesday, December 13, 2016

Nota Keberatan Ahok dalam Persidangan Secara Lengkap

Nazaret - Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok meneteskan air mata saat membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan penistaan agama yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum.

"Saya tidak habis pikir mengapa saya bisa dituduh sebagai penista agama Islam," kata Ahok dalam sidang di gedung eks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2016).


Ahok mulai menangis saat teringat orangtua angkatnya yang muslim. Dia menceritakan tumbuh kembangnya di keluarga muslim. Dia diangkat anak oleh Andi Baso Amier, yang tak lain adalah mantan Bupati Bone, tahun 1967 sampai tahun 1970, beliau adik kandung mantan Panglima ABRI, almarhum Jenderal TNI Purn Muhammad Jusuf.

"Ayah saya dengan ayah angkat saya, bersumpah untuk menjadi saudara sampai akhir hayatnya. Kecintaan kedua orangtua angkat saya kepada saya, sangat berbekas, pada diri saya, sampai dengan hari ini," tutur Ahok.

Berikut isi lengkap Nota Keberatan Ahok yang dibacakan Ahok dalam persidangan:

Bapak Ketua Majelis Hakim, dan Anggota Majelis Hakim yang saya muliakan,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang saya hormati,

Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Pertama-tama saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Majelis Hakim atas kesempatan, yang diberikan kepada Saya.

Berkaitan dengan persoalan yang terjadi saat ini, dimana saya diajukan di hadapan sidang, jelas apa yang saya utarakan di Kepulauan Seribu,  bukan dimaksudkan untuk menafsirkan Surat Al-Maidah 51 apalagi berniat menista agama Islam, dan juga berniat untuk menghina para Ulama. Namun ucapan itu, saya maksudkan, untuk para oknum politisi, yang memanfaatkan Surat Al-Maidah 51, secara tidak benar karena tidak mau bersaing secara sehat dalam persaingan Pilkada.

Ada pandangan yang mengatakan, bahwa hanya orang tersebut dan Tuhan lah, yang mengetahui apa yang menjadi niat pada saat orang tersebut mengatakan atau melakukan sesuatu. Dalam kesempatan ini di dalam sidang yang sangat Mulia ini, saya ingin menjelaskan apa yang menjadi niat saya pada saat saya berbicara di Kepulauan Seribu tersebut.

Dalam hal ini, bisa jadi tutur bahasa saya, yang bisa memberikan persepsi, atau tafsiran yang tidak sesuai dengan apa yang saya niatkan, atau dengan apa yang saya maksudkan pada saat saya berbicara di Kepulauan Seribu.

Majelis Hakim yang saya muliakan.

Ijinkan saya untuk membacakan salah satu Sub-judul dari buku saya, yang berjudul “Berlindung Dibalik ayat suci” ditulis pada tahun 2008. Saya harap dengan membaca tulisan di buku tersebut, niat saya yang sesungguhnya bisa dipahami dengan lebih jelas, isinya sebagai berikut, saya kutip:

Selama karir politik saya dari mendaftarkan diri menjadi anggota partai baru, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai mengikuti Pemilu, kampanye pemilihan Bupati, bahkan sampai Gubernur, ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat, dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”.

Ayat ini sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elit, karena tidak bisa bersaing dengan visi misi program, dan integritas pribadinya. Mereka berusaha berlindung dibalik ayat-ayat suci itu, agar rakyat dengan konsep “seiman” memilihnya.

Dari oknum elit yang berlindung dibalik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat Almaidah 51. Isinya, melarang rakyat, menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin mereka, dengan tambahan, jangan pernah memilih kafir menjadi pemimpin. Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum yang seiman.

Padahal, setelah saya tanyakan kepada teman-teman, ternyata ayat ini diturunkan pada saat adanya orang-orang muslim yang ingin membunuh Nabi besar Muhammad, dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan Yahudi di tempat itu. Jadi, jelas, bukan dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena di NKRI, kepala pemerintahan, bukanlah kepala agama/Imam kepala. Bagaimana dengan oknum elit yang berlindung, dibalik ayat suci agama Kristen? Mereka menggunakan ayat disurat Galatia 6:10. Isinya, selama kita masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.

Saya tidak tahu apa yang digunakan oknum elit di Bali yang beragama Hindu, atau yang beragama Budha. Tetapi saya berkeyakinan, intinya, pasti, jangan memilih yang beragama lain atau suku lain atau golongan lain, apalagi yang ras nya lain. Intinya, pilihlah yang seiman/sesama kita (suku, agama, ras, dan antar golongan). Mungkin, ada yang lebih kasar lagi, pilihlah yang sesama kita manusia, yang lain bukan, karena dianggap kafir, atau najis, atau binatang!

Karena kondisi banyaknya oknum elit yang pengecut, dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi, dan akhirnya mengandalkan hitungan suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya, sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan. Seorang putra terbaik bersuku Padang dan Batak Islam, tidak mungkin menjadi pemimpin di Sulawesi. Apalagi di Papua. Hal yang sama, seorang Papua, tidak mungkin menjadi pemimpin di Aceh atau Padang.

Kondisi inilah yang memicu kita, tidak mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terbaik. Melainkan kita mendapatkan yang buruk, dari yang terburuk, karena rakyat pemilih memang diarahkan, diajari, dihasut, untuk memilih yang se-SARA saja. Singkatnya, hanya memilih yang seiman (kasarnya yang sesama manusia).

Demikian kutipan dari buku yang saya tulis tersebut.

Majelis Hakim yang saya muliakan.

Dalam kehidupan pribadi, saya banyak berinteraksi dengan teman-teman saya yang beragama Islam, termasuk dengan keluarga angkat saya Almarhum Haji Andi Baso Amier yang merupakan keluarga muslim yang taat.

Selain belajar dari keluarga angkat saya, saya juga belajar dari guru-guru saya, yang taat beragama Islam dari kelas 1 SD Negeri, sampai dengan kelas 3 SMP Negeri. sehingga sejak kecil sampai saat sekarang, saya tahu harus menghormati Ayat-Ayat suci Alquran.

Jadi saya tidak habis pikir, mengapa saya bisa dituduh sebagai penista Agama Islam.

Saya lahir dari pasangan keluarga non-muslim, Bapak Indra Tjahaja Purnama dan Ibu Buniarti Ningsih (Tjoeng Kim Nam dan Bun Nen Caw), tetapi saya juga diangkat sebagai anak, oleh keluarga Islam asal Bugis, bernama Bapak Haji Andi Baso Amier , dan Ibu Hajjah Misribu binti Acca. Ayah angkat saya, Andi Baso Amier adalah mantan Bupati Bone, tahun 1967 sampai tahun 1970, beliau adik kandung mantan Panglima ABRI, Almarhum Jenderal TNI (Purn.) Muhammad Jusuf.

Ayah saya dengan ayah angkat saya, bersumpah untuk menjadi saudara sampai akhir hayatnya.

Kecintaan kedua orangtua angkat saya kepada saya, sangat berbekas, pada diri saya, sampai dengan hari ini.

Bahkan uang pertama masuk kuliah S2 saya di Prasetya Mulya, dibayar oleh kakak angkat saya, Haji Analta Amir.

Saya seperti orang yang tidak tahu berterima kasih, apabila saya tidak menghargai agama dan kitab suci orang tua dan kakak angkat saya yang Islamnya sangat taat.

Saya sangat sedih, saya dituduh menista agama Islam, karena tuduhan itu, sama saja dengan mengatakan saya menista orang tua angkat dan saudara-saudara angkat saya sendiri, yang sangat saya sayangi, dan juga sangat sayang kepada saya. Itu sebabnya ketika Ibu angkat saya meninggal, saya ikut seperti anak kandung, mengantar dan mengangkat keranda beliau, dari ambulans sampai ke pinggir liang lahat, tempat peristirahatan terakhirnya, di Taman Pemakaman umum Karet Bivak.

Sampai sekarang, saya rutin berziarah ke makam Ibu angkat, di Karet Bivak. Bahkan saya tidak mengenakan sepatu atau sendal saat berziarah, untuk menghargai keyakinan dan tradisi orang tua dan saudara angkat saya itu.

Yang membuat saya juga selalu mengingat almarhumah Ibu angkat saya, adalah peristiwa, pada saat saya maju, sebagai calon wakil Gubernur  DKI Jakarta tahun 2012.

Pada hari pencoblosan, walaupun Ibu angkat saya, sedang sakit berat dalam perjalanan ke rumah sakit, dengan menggunakan mobil kakak angkat saya Haji Analta, ibu angkat saya, sengaja, meminta mendatangi tempat pemungutan suara untuk memilih saya. Padahal kondisinya sudah begitu kritis.

Dari tempat pemungutan suara, barulah beliau langsung, menuju ke rumah sakit, untuk perawatan lebih lanjut di ICU.

Setelah dirawat selama 6 (enam) hari, Ibu berdoa dan berkata kepada saya dan masih terus saya  ingat dan masih akan saya ingat, kata beliau: “Saya tidak rela mati sebelum kamu menjadi gubernur. Anakku, jadilan gubernur yang melayani rakyat kecil."

Ternyata Tuhan mengabulkan doa Ibu angkat saya.

Beliau berpulang tanggal 16 Oktober 2014, setelah ada kepastian Bapak Jokowi menjadi Presiden, dan saya juga sudah dipastikan menjadi Gubernur, menggantikan Bapak Jokowi. Pesan dari Ibu angkat saya selalu saya camkan , dalam menjalankan tugas saya, sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Majelis Hakim yang saya muliakan.

Sebelum menjadi pejabat, secara pribadi, saya sudah sering menyumbang untuk pembangunan mesjid di Belitung Timur, dan kebiasaan ini, tetap saya teruskan saat saya menjabat sebagai Anggota DPRD Tingkat II Belitung Timur, dan kemudian sebagai Bupati Belitung Timur. Saya sudah menerapkan banyak program membangun Masjid, Mushollah dan Surau, dan bahkan merencanakan membangun Pesantren, dengan beberapa Kyai dari Jawa Timur. Saya pun menyisihkan penghasilan saya, sejak menjadi pejabat publik minimal 2,5% untuk disedekahkan yang di dalam Islam, dikenal sebagai pembayaran Zakat, termasuk menyerahkan hewan Qurban atau bantuan daging di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Saya juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan, termasuk untuk menggaji guru-guru mengaji, dan menghajikan Penjaga Masjid/Musholla (Marbot atau Muadzin) dan Penjaga Makam.

Hal-hal yang telah saya lakukan di Belitung Timur, saat menjabat sebagai Bupati, saya teruskan ketika tidak menjadi Bupati lagi, sampai menjadi anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Bangka Belitung, sebagai Wakil Gubernur dan juga, sebagai Gubernur DKI Jakarta saat ini pun tetap saya lakukan.

Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya juga membuat banyak kebijakan, diantaranya kebijakan agar di bulan Suci Ramadhan, para PNS dan honorer, bisa pulang lebih awal, dari aturan lama jam 15.00 WIB saya ubah menjadi jam 14.00 WIB, agar umat Muslim dapat berbuka puasa bersama keluarga di rumah, sholat magrib berjamaah, dan bisa tarawih bersama keluarganya.

Saya juga ingin melihat Balaikota mempunyai Masjid yang megah untuk PNS, sehingga bisa melaksanakan ibadahnya, ketika bekerja di Balaikota. Karena itu, Pemda membangun Masjid Fatahillah di Balaikota.

Di semua rumah susun (rusun) yang dibangun PEMDA, juga dibangun Masjid. Bahkan di Daan Mogot, salah satu rusun yang terbesar, kami telah membangun Masjid besar, dengan bangunan seluas 20.000 m2, agar mampu menampung seluruh umat muslim yang tinggal di rusun Daan Mogot. Kami jadikan masjid tersebut sebagai salah satu Masjid Raya di Jakarta.

Kami akan terus, membangun Masjid Raya/besar, di setiap rusun, kami akan terus membantu perluasan Masjid yang ada, dengan cara PEMDA akan membeli lahan yang ada di sekitar Masjid, sebagaimana beberapa kali telah saya sampaikan dalam pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam maupun Pengurus Dewan Masjid Indonesia di Balaikota.

Para Marbot dan penjaga makam juga PEMDA Umrohkan. Kami juga membuat kebijakan bagi PNS, menjadi pendamping Haji kloter DKI Jakarta.

Saya berharap bisa melaksanakan amanah orang tua dan orang tua angkat saya untuk melanjutkan tugas saya sebagai Gubernur di periode yang akan datang, sehingga cita-cita saya untuk memakmurkan umat Islam di Jakarta dapat terwujud.

Majelis Hakim yang saya muliakan.

Saya berani mencalonkan diri sebagai Gubernur, sesuai dengan amanah yang saya terima dari almarhum Gus Dur, bahwa Gubernur itu bukan pemimpin tetapi pembantu atau pelayan masyarakat.

Itu sebabnya, dalam pidato saya setelah pidato almarhum Gus Dur pada tahun 2007, saya juga mengatakan bahwa menjadi calon Gubernur, sebetulnya saya melamar untuk menjadi pembantu atau pelayan rakyat.

Apalagi, saya melihat adanya fakta, bahwa ada cukup banyak partai berbasis Islam, seperti di Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan Solo juga mendukung calon Gubernur, Bupati, Walikota non-Islam di daerahnya.

Untuk itu, saya mohon ijin kepada Majelis Hakim, untuk memutar video Gus Dur yang meminta masyarakat memilih Ahok sebagai Gubernur saat Pilkada Bangka Belitung tahun 2007, yang berdurasi sekitar 9 (Sembilan) menit.

Majelis Hakim yang saya muliakan.

Saya ini hasil didikan orang tua saya, orang tua angkat saya, Ulama Islam di lingkungan saya, termasuk Ulama Besar yang sangat saya hormati, yaitu Almarhum Kyai Haji Abdurahman Wahid.

Yang selalu berpesan, menjadi pejabat publik sejatinya adalah menjadi pelayan masyarakat. Sebagai pribadi yang tumbuh besar di lingkungan umat Islam, tidaklah mungkin saya mempunyai niat untuk melakukan penistaan Agama Islam dan menghina para Ulama, karena sama saja, saya tidak menghargai, orang-orang yang saya hormati dan saya sangat sayangi.

Majelis Hakim yang saya muliakan.

Apa yang saya sampaikan di atas, adalah kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi. Dan saya juga berharap penjelasan saya ini, bisa membuktikan tidak ada niat saya, untuk melakukan penistaan terhadap Umat Islam, dan penghinaan terhadap para Ulama. Atas dasar hal tersebut, bersama ini saya mohon, agar Majelis Hakim yang Mulia, dapat mempertimbangkan Nota Keberatan saya ini, dan selanjutnya memutuskan, menyatakan dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima, atau batal demi hukum. sehingga saya dapat kembali, melayani warga Jakarta dan membangun kota Jakarta.

Majelis Hakim yang Mulia, terima kasih atas perhatiannya. Kepada Jaksa Penuntut Umum, serta Penasehat Hukum, saya juga ucapkan terima kasih.

Jakarta, 13 Desember 2016

Hormat saya,

Basuki Tjahaja Purnama




Sumber Liputan 6 http://news.liputan6.com/read/2676687/isi-lengkap-nota-keberatan-ahok-dalam-persidangan

Thursday, December 8, 2016

Siapa yang Paling Menistakan Agama?? Kata kata menistakan Atau Perbuatan Korupsi ??

Nazaret - Hati saya berkecamuk setelah mengamati peristiwa "doa massal" yang diwarnai dengan yel-yel PENJARAKAN AHOK, dan yel-yel sektarian lainnya, dan kibaran bendera-bendera hitam sekilas dari jauh seperti bendera ISIS, Presiden sholat Jumat dan mendengarkan khotbah Rizieq kemudian naik panggung menyapa umat, jumlah umat yang luar biasa banyaknya, antara lega, bangga, heran dan bertanya-tanya: Apa Yang Dicapai Dari Usaha Yang Luar Biasa ini?

Yang tertangkap di benak saya yang awam ini adalah: 

1. Ternyata umat Islam kita sangat terorganisir dengan rapih dan damai kalau dikawal dengan baik dan agitator dikontrol. Ini modal sosial dan enerji luar biasa yang belum digali dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, untuk memajukan Indonesia dan mengatasi segala masalah, terutama korupsi, satu-satunya masalah yang membuat Indonesia terpuruk diantara negara-negara dunia.

2. Presiden dan Wakil Presiden adalah orang-orang yang berani. Saya seorang yang sangat kritis terhadap mereka berdua, ternyata merasa sangat cemas dengan keselamatan mereka sewaktu sholat massal. Salut dan kagum Pak Presiden dan Wapres, Anda berdua adalah pemimpin sejati negeri ini.

3. Simbol negara ini ternyata berwibawa: Rizieq yang biasanya mulutnya seperti comberan, dimana kata-kata kotor seperti kutil babi dan kodok istana dipakai dalam khotbah-khotbahnya, kemarin agak sopan. Dia yang biasanya melakukan agitasi untuk mendukung khilafah Islam, kemarin bicara untuk menjaga perdamaian persatuan NKRI walaupun dengan nuansa sektarian. Jokowi JK hebat, saluut. Walaupun, begitu Presiden berbalik, belum turun panggung, langsung Rizieq orasi "TANGKAP AHOK" membuat perut kita mual. Haruskah Presiden menanggung hinaan seperti itu? Tapi Presiden cuek dan berjalan kembali ke istana. Saluut atas sikap dingin beliau. You are cool President.

4. Kejadian di panggung ini mengungkap siapa Rizieq sebenarnya, pengecut di depan orang yang dia sebut sebagai kutil babi dan kodok, hanya berani di belakangnya, dan dia kemarin adalah musang berbulu ayam di depan Presiden. Ternyata jelas, dia seorang pengecut.

5. Diplomasi Kapolri dan TNI yang memberikan madu dan racun pada saat bersamaan: madu dalam bentuk ijin berkumpul dengan syarat hanya berdoa, racun dalam bentuk ancaman dengan menangkapi orang-orang yg vokal berbicara menjatuhkan Presiden dan makar, sangat efektif menjinakkan agitator-agitator seperti Rizieq, Munarman, dan membuat Fadli Zon dan Fachry Hamzah tidak menghadiri doa massal ini. Ini pendekatan yang sangat canggih. Saluut.

6. Namun, saya terhenyak mendapati kenyataan bahwa fenomena seorang Ahok dipakai oleh berbagai pihak untuk menaikkan pamornya, bukan hanya Rizieq, penantang Ahok dalam Pilkada, bahkan oleh Kapolri, dengan membandingkan pemrosesan kasus tuduhan penistaan agama dengan tuduhan korupsi yang ditangani KPK. Buat apa Kapolri mengucapkan hal tersebut? Apakah beliau membutuhkan legitimasi, dukungan dan persetujuan dari Rizieq dan gerombolannya? Publik sangat mengapresiasi Kapolri, kenapa harus membandingkan dengan KPK? Walaupun sudah minta maaf katanya kepada KPK, hal ini sangat menjatuhkan wibawa beliau sebagai Kapolri yg mestinya netral dan berwibawa dihadapan gerombolan agitator.

Ahok dihujat tetapi juga dibutuhkan untuk menaikkan pamor.

Pada saat yang bersamaan, hati saya berontak dan bertanya-tanya:

1. Apa maslahat yang dicapai umat Islam dari dua kegiatan besar yang menghabiskan biaya puluhan milyar rupiah ? Rasa kepuasan membela agama? Apa yang diharapkan dari pemuasan ego itu? Kebanggaan? Siapa yang diuntungkan dari keberhasilan ini?

2. Betapa mudahnya umat Islam Indonesia digugah rasa kebanggaan terhadap agamanya dengan kata-kata penistaan agama. Kenapa umat Islam Indonesia tidak tergugah dengan korupsi yang memurukkan negeri ini? Bukankah korupsi lebih menistakan agama karena memiskinkan rakyat yang paling miskin? Kenapa tidak ada meme dan orasi untuk Bela Islam Dari Korupsi? Kenapa tidak ada ulama yang mengajak berjihad untuk memberantas korupsi dan secara terus menerus memberi semangat dan mengajak umat lewat khotbah berkobar-kobar di mesjid-mesjid?

3. Sesudah Presiden dan Wapres menghadiri sholat Jumat, apakah yang akan dilakukan pemerintah terhadap FPI dan HTI serta organisasi lain dan agitator-agitator yang sudah jelas-jelas terbukti menghina simbol negara dengan menyebut Kutil babi dan kodok istana, atau yang jelas-jelas mengajak orang membunuh Ahok atau yang jelas-jelas mendukung konsep khilafah Islam (makar) dan yang sudah terbukti melakukan dan sering melakukan main hakim sendiri ? Apakah akan tetap dibiarkan seperti sekarang atau akan didisiplinkan dan dihentikan sebelum membesar dan tidak terkontrol? Akankah hukum akan mencapai orang-orang yang mengorganisasikan massa untuk membela kepentingannya? Akankah hukum mencapai orang-orang yang berada di belakang layar?

4. Apakah Pemerintah akan mencegah dan menunjukkan tidak bisa ditekan untuk menegakkan keadilan dalam proses penanganan hukum tuduhan penistaan agama versi Rizieq berikutnya, yaitu memenjarakan dan menghukum Ahok? Sejauh ini, massa tidak berhasil menekan polisi untuk menangkap Ahok, sekarang bola panas ada di Kejaksaan Agung dan Jaksa Agung menerima tekanan dan dibully untuk menahan Ahok. Apakah pemerintah akan menjaga agar tidak ada tekanan di pengadilan untuk menghukum Ahok? Keadilan tidak bisa ditegakkan menurut versi kelompok tertentu dan melanggar rasa keadilan kelompok lain. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak sesuai dengan materi pembuktian di pengadilan. Kalau ini terjadi, maka keadilan di negeri ini akan hancur.

5. Apa langkah berikutnya bagi umat Islam Indonesia? Sangatlah sia-sia jika enerji dan biaya yang dikeluarkan untuk tuduhan penistaan ini tidak dikapitulasikan menjadi enerji dan kekuatan yang berguna bagi kemaslahatan umat, misalnya pemberantasan korupsi.

Saya sebagai umat Islam, meminta para ulama untuk mengobarkan jihad untuk melawan korupsi, karena saat ini tidak ada negara Islam atau negara yang rakyatnya mayoritas Islam berada pada level atas negara-negara yang bersih dari korupsi. Sebaliknya, negara-negara yg mayoritas rakyatnya beragama Islam berada di paling bawah peringkat korupsi dunia.

Semoga Allah SWT memberikan hidayahNya kepada ulama Indonesia untuk memimpin umat Islam Indonesia berjihad di bidang ini. Amiin ya Rabbal Alamin.

Emmy Hafild (fb)

Sumber http://www.healmagz.com/2016/12/tulisan-cerdas-wanita-ini-menohok.html?m=1#

Wednesday, December 7, 2016

Jaman Suharto Pengedit Video Penistaan Agama Gak di Hukum Apakah Sekarang Juga Sama???

Di era Soeharto, dalam sebuah acara di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Permadi mengatakan, undang-undang dasar memungkinkan presiden menjadi diktator secara konstitusional. “Soekarno diktator, Soeharto diktator. Di tengah diskusi itu, Permadi masih ingat betul, ada seorang peserta diskusi menyatakan sepakat dengan pernyataannya tentang diktator. “Rafly Harun, yang sekarang profesor tata negara, dulu masih mahasiswa. Dia bilang bahwa hanya ada satu diktator di dunia ini yang baik, yakni Nabi Muhammad. Karena bukan untuk kepentingan pribadi dan golongannya tapi untuk umatnya. Saya pun langsung bilang, saya sependapat dengan anda, Nabi Muhammad adalah diktator yang baik seperti yang anda katakan,” kenang Permadi.

Permadi melanjutkan, acara diskusi itu ternyata direkam oleh sekretariat UGM. Kemudian dibagi-bagi. "Saya pun mendapatkan satu yang asli. Namun rekaman itu jatuh ke tangan Harmoko.Kemudian rekaman dipotong-potong, ucapan Rafly Harun tidak ada, yang ada hanya jawaban saya, Nabi Muhammad Diktator. Disebar luaskan ke umat Islam. Langsung ribuan umat Islam datang ke Kejaksaan Agung, lalu datang ke rumah saya sambil membawa poster, tangkap Permadi, gantung Permadi. darah Permadi halal. Saya langsung ditangkap dan dipenjara,” katanya.

Memasuki persidangan, Permadi membawa rekaman utuh kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta. “Hakim heran. Dia tahu karena ini rekayasa,”. Di persidangan, majelis hakim memvonis Permadi dengan hukuman tujuh bulan penjara. Namun entah bagaimana rekaman asli itu sampai ke tangan Presiden. Pak Harto marah dan malu karena Permadi di perlakukan tidak adil. Semua karena ulah Harmoko, Faisal Tanjung dan Din Samsudin yang sehingga menjadikan dirinya terpidana dengan memotong motong rekaman asli ( https://www.youtube.com/watch?v=qrUBmPphAMc). Akhirnya Pak Harto memerintahkan agar Permadi di bebaskan dari penjara. Dia hanya menjalani hukuman 1 bulan tanpa proses banding atau pembelaan secara hukum. Tapi tidak ada yang bisa membantah bahwa Permadi telah di perlakukan tidak adil selama proses peradilan terhadap dirinya.

Andaikan kasus Permadi itu di zaman Jokowi, Permadi tidak akan di penjara dengan tuduhan yang belum terbukti bersalah itu. Tapi di era Soeharto itu biasa saja. Andaikan kasus Permadi itu di era Jokowi, dia akan di bebaskan oleh Hakim karena bukti yang dia berikan tidak sama dengan bukti yang di jadikan jaksa sebagai dasar menuntutnya. Tapi di era Soeharto, itu biasa saja. Andaikan kasus Permadi itu di zaman Jokowi, maka Harmoko , Faisal Tanjung, Din Samsudin akan jadi tersangka karena bukti yang di laporkan tidak sama dengan aslinya. Tapi di era Soeharto, itu biasa saja.

Ahok bukanlah Permadi walau kasusnya tidak jauh beda dengan Permadi dimana di nyatakan bersalah karena sebuah " kata kata", dan Ahok bersyukur hidup di era reformasi, khususnya di kepemimpinan Jokowi di mana supremasi hukum diatas segala galanya, sehingga tidak harus di tahan sampai dia benar benar terbukti bersalah oleh keputusan Hakim. Jokowi bersikukuh memastikan supremasi hukum di tegakan agar tidak boleh ada lagi orang di penjara karena di rekayasa oleh sekelompok orang atas dasar suka tidak suka. Karena lewat supremasi hukum itulah semua warga negara yang plural ini bisa hidup nyaman dan punya harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Friday, December 2, 2016

Ahmad Dhani dkk Dikenai Pasal Makar,Terancam Penjara Seumur Hidup

Nazaret - Mabes Polri menangkap 10 orang, termasuk Rachmawati Soekarnoputri dan Ahmad Dhani. Polisi menerapkan pasal tentang makar atau upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah.

"Di antaranya dikenakan Pasal 107 KUHP juncto Pasal 110 KUHP, juncto Pasal 87 KUHP," kata Karo Penmas Mabes Polri Kombes Rikwanto di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (2/12/2016).


"Untuk Pasal 107 ancaman pidana seumur hidup," sambung Rikwanto.

Kesepuluh orang yang ditangkap yaitu AD, E, AD, KZ, FA, RA, RS, SB, JA, dan RK. Namun hanya 8 orang di antaranya yang dikenai pasal tersebut. Sedangkan untuk 2 orang lainnya, yaitu JA dan RK, dikenai Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pasal 107 KUHP berbunyi:

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Kemudian Pasal 110 KUHP berbunyi:

(1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:

1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;

2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atua orang lain;

3. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan;

4. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain;

5. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.

(3) Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.

(4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.

(5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.

Sedangkan, Pasal 87 KUHP berbunyi:

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.




Sumber https://news.detik.com/berita/3360800/dikenai-pasal-makar-ahmad-dhani-dkk-terancam-penjara-seumur-hidup?utm_source=facebook&utm_medium=oa&utm_content=news&utm_campaign=cms+socmed

3 Alasan Ahok Akan Bebas Secara Hukum Saat Disidang

Nazaret - Kejaksaan Agung akan mengumumkan bahwa berkas perkara dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, lengkap alias P21 pada hari ini, Rabu, 30 November 2016, dua hari menjelang demo "Aksi Bela Islam III" pada 2 Desember.

Tim jaksa penuntut umum menyatakan berkas Ahok telah memenuhi syarat formil dan materiil, sehingga dapat masuk ke tahap selanjutnya, yakni penyerahan tersangka dan barang bukti. "Kami mencoba meminimalkan waktu dan mengoptimalkan kinerja karena banyak imbauan agar lebih cepat lebih baik diserahkan ke pengadilan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Muhammad Rum (Koran Tempo, 30 November 2016).

Entah mengapa kejaksaan harus buru-buru mengumumkan kasus ini. Lebih baik syarat-syaratnya diperkuat dahulu sehingga kasus ini benar-benar matang ketika hendak disidangkan.

Pengacara Ahok, Sirra Prayuna, mempertanyakan sikap kejaksaan yang terkesan terburu-buru. Ia bingung melihat sikap jaksa tersebut, apakah murni pertimbangan penegakan hukum atau ada tekanan politik di baliknya. "Saya puluhan tahun bekerja sebagai praktisi hukum, tapi baru pertama kali menghadapi kasus hukum sebegitu cepatnya," ujar dia.

Tapi, baiklah, bila memang perkara Ahok hendak diteruskan, maka dia akan dijerat dengan 2 pasal ini.

Pertama, Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:

Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Ancaman pidananya adalah penjara paling lama 5 tahun.

Kedua, Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ancaman pidananya adalah penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Perlu dicatat, bahwa Revisi UU ITE mulai diberlakukan per Senin, 28 November lalu. Dalam revisi itu, ancaman pidananya berubah menjadi paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 750 juta. Tapi, perubahan ini tidak berlaku surut sehingga akan  berlaku untuk kasus Ahok.

Melihat pasal-pasal yang akan dipakai, tampaknya masih lemah untuk menjerat Ahok.

1. Pasal untuk Penyebar

Pasal 28 ayat 2 UU ITE sebetulnya ditujukan kepada orang yang penyebar kebencian melalui berbagai medium di Internet, misalnya Facebook atau Twitter. Ini terlihat dari subyek dalam kalimat pada pasal adalah "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi...".

Dalam kasus video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, Ahok bukanlah penyebar video tersebut. Yang meyebarkan adalah Buni Yani. Itu sebabnya Buni Yani telah ditetapkan sebagai tersangka, meskipun masih bisa diperdebatkan apakah Buni Yani pas dijerat dengan pasal yang sama.

2. Pidato Ahok bukan di Dunia Cyber

Kalau yang dimaksud jaksa adalah pidato Ahok dianggap menyebar kebencian, maka tidak bisa memakai pasal tersebut. Ahok berpidato secara fisik di hadapan orang banyak, bukan dengan live streaming atau menuliskan pidatonya di media sosial atau media apa pun di Internet, sebagaimana dimaksud pasal dalam UU ITE ini.

3. Pasal Penghinaan Agama Tak Bisa Dipakai

Saya sudah menulis panjang tentang masalah pada Pasal 156a KUHP ini Saya coba ringkaskan bahwa dalam kasus Ahok, pasal ini tidak bisa digunakan karena pasal itu menunjuk pada perbuatan orang di muka umum yang mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

"Artinya kalau kita lihat bahwa pasal 156a itu bahwa perbuatan itu dimaksudkan supaya orang tidak menganut agama apa pun atau tidak menganut suatu aliran apa pun, agama apa pun yang resmi di Indonesia," kata Mahmud Mulyadi, pakar hukum pidana dari Universitas Sumatra Utara, kepada BBC. "Jadi kalau ini seandainya ditarik kepada kasus Ahok saya pikir tidak bisa digunakan pasal ini. Tidak kena dia...karena Ahok tidak ada maksud untuk orang itu berpindah agama," tambahnya

Indriyanto Seno Adji, guru besar dari Universitas Krisnadwipayana, termasuk salah satu saksi ahli yang diperiksa Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI untuk kasus penistaan agama Ahok. Dia termasuk satu dari empat ahli yang berpendapat pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu bukan penistaan agama. "Dalam kasus ini, bagi saya unsur penistaan belum ada," kata Indriyanto kepada Majalah Tempo edisi 21 November 2016. "Kasus ini dimensi politiknya kuat," kata dia.

Kita khawatir bila penegak hukum akhirnya mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan politik yang kental, bukan pertimbangan hukum yang rasional dan independen, maka kewibawaan hukum Indonesia telah digerogoti. Orang nantinya sangat mudah dihukum dengan pasal-pasal yang dipaksakan. Hari Ahok, besok entah siapa lagi.

Update tanggal 30 November 2016 pukul 16.42 WIB

Saat pengumuman tadi siang, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Noor Rachmad, mengatakan pasal yang dikenakan terhadap Ahok sesuai dengan berkas perkara yang diserahkan penyidik Polri, yaitu Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

Ahok tidak dikenai Pasal 28 ayat 2 UU ITE. "Fakta-fakta yang terungkap dari hasil penyidikan di berkas itu menggambarkan bahwa perbuatannya hanya dapat dijerat dengan Pasal 156 dan 156a KUHP," ujar Rahman. "Kalaupun menggunakan UU ITE, tentu harus dilihat, apakah ada di berkas itu."

Melihat perkembangan ini, maka analisa mengenai pasal 28 ayat 2 UU ITE di atas dengan sendirinya gugur dan mohon diabaikan.

Sumber Tempo.https://indonesiana.tempo.co/read/101742/2016/11/30/iwank.1.2/ahok-akan-disidang-ini-3-alasan-dia-akan-lolos

Tuesday, December 22, 2015

Kronologi Pencabutan SK Golkar dan PPP

Wakil Presiden Jusuf Kalla sepakat dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang akan mencabut SK kepengurusan Golkar Munas Ancol dan PPP Muktamar Surabaya setelah seluruh tahapan Pilkada serentak selesai.

"Ya memang seperti itu agar pikirannya atau pemahamannya selesai Pilkada supaya tetap tanda tangan itu jalan," kata JK di kantor Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (21/12/2015).

JK mengatakan, jika Menkum mencabut SK dua kepengurusan parpol saat ini, maka dikhawatirkan akan ada keributan terkait sah atau tidaknya surat penunjukan pasangan calon kepala daerah yang diusung Golkar.

"Kan itu nanti belakangan hari ada dianggap tidak sah lagi (kalau SK dicabut)," sambungnya.

Menkum Yasonna sebelumnya menyatakan akan mencabut SK Golkar Munas Ancol dan PPP Muktamar Surabaya setelah pelaksaan Pilkada serentak dilakukan.

Namun, kini Yasonna mengatakan pencabutan SK ditunda karena tahapan rekapitulasi Pilkada 9 Desember belum selesai. Daripada gaduh, Yasonna memilih menahan karena berdasarkan rekomendasi Mahkamah Agung.

Yasonna memiliki waktu hingga akhir Januari untuk mencabut SK kepengurusan dua partai tersebut.

Inilah Kronologinya

Golkar kubu Aburizal Bakrie (Ical) dan PPP kubu Djan Faridz telah mengajukan permohonan SK kepengurusan DPP partai masing-masing ke Kemenkum HAM. Menkum HAM Yasonna Laoly berjanji menerbitkan SK untuk kedua partai setelah Pilkada Serentak 9 Desember 2015.

"Ya habis pilkada lah, biar jangan ada komplikasi," kata Yasonna saat ditanya SK untuk kepengurusan Golkar dan PPP di kantor Wapres, Jl Veteran, Jakarta, Selasa (24/11/2015).

Yasonna mengatakan SK akan diterbitkan setelah pilkada agar tak menimbulkan kerancuan soal kepengurusan yang berhak ikut pilkada. Yasonna juga tak ingin ada kegaduhan baru.

"Biar saja karena ini sudah berjalan baik sampai pilkada selesai," ujarnya.

Golkar kubu Ical dan PPP kubu Djan Faridz mengajukan SK kepengurusan DPP ke Kemenkum HAM menyusul kemenangan kedua kubu di MA. Ical mengalahkan kubu Agung Laksono dengan kepengurusan Golkar hasil Munas Ancol. Sedangkan Djan mengalahkan kubu Romahurmuziy dengan kepengurusan PPP hasil muktamar Surabaya.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berjanji akan mencabut SK pengurus Golkar Munas Ancol dan PPP Muktamar Surabaya setelah pelaksanaan Pilkada. Kini, setelah 9 Desember terlewati, Yasonna mengaku masih menunggu seluruh tahapan Pilkada serentak selesai, baru mencabut kedua SK.

"Ini kan tahapan Pilkada masih ada. Jangan nanti ada komplikasi, beribut lagi. Biar aja dulu," kata Yasonna di kantor Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (21/12/2015).

Ia mengatakan ia memiliki batas waktu hingga akhir Januari untuk mencabut SK tersebut sesuai rekomendasi Mahkamah Agung. Ia berjanji sebelum batas waktu tersebut sudah mencabut SK kepengurusan Golkar Ancol dan PPP Surabaya yang disahkannnya dulu.

"Kalau kewenangan saya kan masih ada sampai pertengahan Januari. Tapi kan sebelum itu pastilah, so pasti dicabut," sambungnya.

Dalam putusannya, MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta sehingga kembali ke putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Sedangkan PTUN telah membatalkan SK Menkum HAM yang mengesahkan kepengurusan Golkar hasil Munas Jakarta.

MA meminta Menkumham mencabut SK pengesahan terhadap kepengurusan Golkar hasil Munas Ancol dengan tenggat waktu 90 hari sejak diputuskan.

Monday, March 16, 2015

KPK lagi-lagi Kecewa

Princes.in : Wacana pemberian remisi untuk koruptor yang dilontarkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dianggap bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi pernyataan Menkumham, Wakil Ketua sementara KPK Johan Budi menyindir lembaganya sudah biasa dikecewakan.

KPK


"Dalam hidup ini biasalah kecewa," kata Johan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/3/2015).

Menurut dia, pemberian remisi untuk para terpidana kasus korupsi mengindahkan upaya KPK melakukan pemberantasan korupsi.

"Kami minta dan berharap agar tidak dipermudah, pemberian remisi diperketat. Ini bertabrakan dengan semangat pemberantasan korupsi, tetapi ini domain Menkumham," kata Johan.

Menurut Johan, pengetatan remisi bagi terpidana kasus luar biasa sangat memberikan efek jera. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan HAM diminta kembali mengkaji wacana pemberian remisi bagi koruptor itu.

Hak napi

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tidak sepakat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pembatasan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tindak pidana kejahatan luar biasa. Menurut dia, seburuk-buruknya napi kasus korupsi, mereka tetap harus diberikan haknya untuk mendapat keringanan hukuman, seperti narapidana kasus lain.

"Ini menjadi sangat diskriminatif ada orang yang diberikan remisi, ada yang ditahan. Padahal, prinsip dasar pemberian remisi pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 itu hak. Jadi, napi punya hak remisi, punya hak pembebasan bersyarat, punya hak pendidikan untuk mendapat pelayanan. Hak itu ada," kata Yasonna, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/3/2015).

PP itu dinilainya justru menimbulkan diskriminasi dan bertentangan dengan undang-undang. Politisi PDI Perjuangan ini mencontohkan pelaku teror yang harus mendapat persetujuan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) apabila ingin mendapat remisi. Demikian juga terpidana korupsi dan narkoba yang harus mendapat pertimbangan dari penegak hukum. Syaratnya ialah harus menjadi whistleblower.

Menurut Yasonna, saat seseorang sudah menjalani hukuman pidana, itu menjadi kewenangan Kementerian Hukum dan HAM. Konsep penahanan yang dilakukan kementeriannya, kata Yasonna, adalah melakukan pembinaan, bukan pembalasan.

"Jadi, kalau sekarang orang sudah ditahan dan memperbaiki (diri) tidak ada gunanya apa-apa, kan diskriminatif," imbuh dia.


Syarat Pemberian Remisi (Pengurangan Masa Menjalani Hukuman)


I. Syarat Pemberian Remisi


Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 32/1999”), remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.


Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 99/2012”), setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi. Mengenai pihak yang berhak memperoleh remisi dan jenis-jenis remisi dapat Anda baca lebih lanjut dalam artikel Bagaimana Prosedur Mengajukan Remisi?


Apakah narapidana harus membayar denda terlebih dahulu untuk mendapatkan remisi? Untuk menjawab ini, kita perlu mengacu pada syarat-syarat bagi narapidana dan anak pidana untuk memperoleh remisi yang terdapat dalam Pasal 34 ayat (2) dan (3) PP 99/2012:


(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:
a.    berkelakuan baik; dan

b.    telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan:

a.    tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan

b.    telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik.”


Selain syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 34 PP 99/2012, persyaratan lain juga terdapat dalam Pasal 34A ayat (1) PP 99/2012 yang berbunyi:


“Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

a.    bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b.    telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan

c.    telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:

1)    kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau

2)    tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.”


Berdasarkan ketentuan di atas, terutama Pasal 34A ayat (1) huruf b PP 99/2012, khusus untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi, baru dapat diberikan remisi jika narapidana yang bersangkutan telah membayar denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Jadi, persyaratan wajib telah membayar denda dan uang pengganti khusus ditujukan kepada pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi.

II. Syarat Pembebasan Bersyarat


Menurut Penjelasan Pasal 12 huruf k Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (“UU Pemasyarakatan”), Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Penjelasan lebih lanjut mengenai pengajuan pembebasan bersyarat dapat Anda simak dalam artikel Syarat dan Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat.


Di dalam artikel tersebut, ada sejumlah persyaratan substantif dan administratif yang harus dipenuhi narapidana untuk mendapatkan pembebasan bersyarat yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Perlu Anda ketahui, dari beberapa persyaratan tersebut tidak disebutkan apakah narapidana wajib membayar denda terlebih dahulu untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Sepanjang ia memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, maka setiap narapidana dapat memperoleh pembebasan bersyarat.